Dokumentasi

Bagi sebagian besar kita, kegiatan dokumentasi adalah sesuatu yang sangat penting. Umumnya, dokumentasi lebih erat dikaitkan dengan foto-foto maupun video. Tentu hal itu tidak sepenuhnya salah, apalagi di era teknologi yang semakin berkembang pesat. Istilah dokumen, atau document dalam bahasa Inggris berarti setiap benda yang memuat atau berisi rekaman informasi. Atau dapat juga diartikan sebagai mencatat, merekam, membuat menjadi dokumen. Kata documentation sudah dikenal sejak abad ke 18, dan memasuki kepopuleran pada abad ke 19. Dalam perkembangannya, istilah dokumentasi mengalami banyak perubahan. Namun pada intinya, dokumentasi lebih mengacu pada penyusunan, penyimpanan, temu balik, pemencaran, evaluasi informasi terekam dalam bidang sains, teknologi, ilmu-ilmu sosial maupun kemanusiaan.
Namun, sadarkah kita bahwa ternyata kegiatan dokumentasi sudah dikenal lebih dulu pada masa kejayaan Islam. Jika kita membaca lembaran sejarah zaman kecemerlangan Islam di masa kekhalifahan Abu Bakar radhliyallahu’anha hingga masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhliyallahu’anha, tentu kita akan mendapati sejarah pengkodifikasian Al Qur’anul Kariim, atau pendokumentasian Al Qur’an. Wahyu-wahyu Allah yang berisi pedoman hidup seluruh umat manusia ini pada mulanya disampaikan Rasulullah Saw kepada para shahabiyah dengan cara lisan. Saat itu, dokumentasi Kalamullah ini masih sebatas pada lembaran daun korma, lempengan tanah atau tulang-tulang binatang. Belum ada itikad untuk mengumpulkan menjadi satu kesatuan karena belum seluruhnya wahyu selesai turun. Jika dipaksakan untuk didokumentasikan menjadi satu kesatuan, dikhawatirkan harus direvisi atau ditulis ulang dari awal.
Setelah Rasulullah Saw wafat, kepemimpinan diserahkan kepada Abu Bakar radhliyallahu ‘anha. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar, banyak terjadi penyelewengan terhadap ajaran-ajaran Islam yang telah ditetapkan oleh Allah Swt melalui firman-firmanNya yang disampaikan Rasulullah Saw. Selain itu, para shahabiyah penghafal Al Qur’an pun banyak yang syahid dalam berbagai pertempuran. Akhirnya, demi menjaga kemurnian Kalamullah ini, sang khalifah, Abu Bakar radhliyallahu’anha meminta Zaid bin Tsabit untuk menuliskan kembali firman-firman Allah Swt ini ke dalam naskah-naskah. Setelah melalui pencocokan dengan hafalan para shahabiyah yang masih hidup, naskah-naskah tersebut dijadikan satu dan mengikatnya dengan benang.
Pendokumentasian Al Qur’an sempat terhenti pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab radhliyallahu’anha. Pada masa khalifah Utsman bin Affan radhliyallahu ‘anha, Islam mulai menyebar ke segala penjuru Arab, bahkan ke seberang benua. Al Qur’an pun mengalami banyak penafsiran sesuai dengan daerah masing-masing sehingga tidak jarang menimbulkan perselisihan-perselisihan. Untuk menghindari perselisihan yang lebih besar, khalifah Utsman kemudian membentuk suatu tim yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit untuk mendokumentasikan atau membukukan Kalamullah. Tim ini terdiri atas Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Para shahabiyah ini diberikan petunjuk oleh khalifah Utsman dalam mendokumentasikan ulang Kalamullah, yaitu:
  • Pedoman bacaan dalam Kalamullah harus berdasar atas bacaan yang dihafal para shahabiyah tersebut;
  • Apabila terjadi perselisihan dalam bacaan, maka harus ditulis menurut dialek suku Quraisy sebab Al Qur’an itu diturunkan menurut dialek suku Quraisy.
Pendokumentasian mushaf Al Qur’an ini telah disetujui oleh kalangan shahabiyah termasuk di dalamnya Ali bin Abi Thalib serta Al Hasan dan Al Husein.
Pentingnya dokumentasi telah lebih dulu disadari oleh kaum muslimin. Makna dokumentasi tidak hanya sebagai kegiatan pengumpulan naskah-naskah yang tersebar tentang suatu kegiatan, peristiwa, maupun pengumpulan aturan-aturan yang mengikat hajat hidup orang banyak, tapi juga menanamkan kesadaran akan berpedoman pada sesuatu yang otentik, jelas dasar-dasarnya, dan bersumber dari sesuatu atau seseorang yang dipercaya dan terbukti derajat ilmu dan pengamalannya. Seperti juga pada pendokumentasian Al Qur’an yang memang betul-betul dipersiapkan oleh khalifah Utsman dengan tim pembukuan mushafnya.

Referensi:
  1. http://konsultasisyariah.com/pembukuan-al-quran
  2. http://www.anneahira.com/sejarah-pembukuan-al-quran.htm
  3. http://belajarcepatbacaquran.com/search/pembukuan-alquran-pada-masa-usman/
  4. http://www.kajianislam.net/modules/newbb/viewtopic.php?viewmode=flat&topic_id=323&forum=3
  5. Sulistyo-Basuki, Pengantar Dokumentasi, 2004, Bandung: Rekayasa Sains.

Makna Khitanan

penulis Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Syariah Seputar Hukum Islam 18 - April - 2007 02:05:46
Islam adl agama yg sangat memerhatikan kebersihan dan juga kesehatan. Banyak permasalahan yg memiliki pengaruh bagi kebersihan dan kesehatan tubuh tdk luput diajarkan dlm agama ini. Satu diantara adl tentang khitan yg telah diakui secara medis memiliki manfaat yg besar.
Pembaca yg semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala Rasul kita yg mulia –semoga shalawat dan salam tercurah pada beliau- pernah bersabda sebagaimana tersampaikan lewat sahabat yg mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأََظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Perkara fithrah itu ada lima –atau lima hal berikut ini termasuk dari perkara fithrah yaitu khitan istihdad mencabut bulu ketiak menggunting kuku dan memotong kumis.
Kelima perkara yg disebutkan dlm hadits ini merupakan beberapa perkara kebersihan yg diajarkan oleh Islam.
Pertama: memotong qulfah zakar yg bila dibiarkan akan menjadi sebab terkumpul najis dan kotoran di daerah tersebut hingga menimbulkan berbagai penyakit dan luka.
Kedua: mencukur rambut yg tumbuh di sekitar kemaluan baik di daerah qubul ataupun dubur krn bila dibiarkan rambut tersebut akan bercampur dgn kotoran dan najis serta bisa menyebabkan thaharah syar’iyyah tdk bisa sempurna.
Ketiga: menggunting kumis bila dibiarkan terus tumbuh akan menperjelek wajah. Memanjangkan juga berarti tasyabbuh dgn Majusi .
Keempat: menggunting kuku bila dibiarkan akan terkumpul kotoran di bawah hingga bercampur pada makanan akibat timbullah penyakit. Dan juga bisa menghalangi kesempurnaan thaharah krn kuku yg panjang akan menutup sebagian ujung jari.
Kelima: mencabut bulu ketiak yg bila dibiarkan akan menimbulkan bau yg tdk sedap.
Kesimpulan menghilangkan perkara-perkara yg disebutkan ini merupakan mahasin Islam yg Islam datang dgn kebersihan dan kesucian dgn pengajaran dan pendidikan agar seorang muslim berada di atas keadaan yg terbaik/terbagus dan bentuk yg paling indah.
Makna Fithrah
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yg dimaukan dgn fithrah di sini adl sunnah demikian dikatakan Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu dan selainnya. Makna kata mereka perkara-perkara yg disebutkan dlm hadits di atas termasuk sunnah-sunnah para nabi. Adapula yg berpendapat makna fithrah adl agama demikian pendapat yg dipastikan oleh Abu Nu’aim rahimahullahu dlm Al-Mustakhraj.
Abu Syamah rahimahullahu berkata: “Asal makna fithrah adl penciptaan pada awal permulaannya. Dari makna ini Allah Subhanahu wa Ta’ala dinyatakan dlm ayat Al-Qur’an sebagai:
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
Maksud adl Dzat yg mengawali penciptaan langit dan bumi . Demikian pula dlm sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
Artinya: Setiap anak yg lahir ia dilahirkan di atas fithrah. Maknanya: si anak dilahirkan di atas perkara yg Allah Subhanahu wa Ta’ala mengawali penciptaan si anak dengannya. dlm hadits ini ada isyarat kepada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“Fithrah Allah yg Dia menciptakan manusia di atas fithrah tersebut.”
Maknanya: tiap orang seandai dibiarkan semenjak lahir hingga bisa memandang dgn pikiran niscaya akan mengantarkan ke agama yg benar yaitu tauhid. Yang memperkuat makna ini adl firman Allah sebelumnya:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“Tegakkanlah wajahmu kepada agama Allah yg hanif . fithrah Allah yg Dia menciptakan manusia di atas fithrah tersebut.”
Makna di atas juga diisyaratkan oleh kelanjutan hadits yaitu:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَنَصِّرَانِهِ
“Maka kedua orang tua yg menjadikan anak tersebut Yahudi atau Nasrani ”
Dengan demikian yg dimaksudkan dgn fithrah dlm hadits yg menjadi pembahasan kita adl perkara-perkara yg disebutkan dlm hadits ini yg bila dikerjakan mk pelaku disifati dgn fithrah yg Allah memfithrahkan para hamba di atas menekankan mereka utk menunaikan dan menyukai utk mereka agar mereka berada di atas sifat yg paling sempurna dan bentuk/penampilan yg paling tinggi/mulia.”
Al-Qadhi Al-Baidhawi rahimahullahu berkata: “Fithrah ini merupakan sunnah yg terdahulu yg dipilih oleh para nabi dan disepakati oleh syariat. Seakan-akan fithrah ini merupakan perkara yg sudah seharus menjadi tabiat/perangai di mana mereka diciptakan di atas tabiat/perangai tersebut.”
Perkara fithrah ini bila dilakukan akan membaguskan penampilan seseorang dan membersihkan sebalik bila ditinggalkan dan tdk dihilangkan apa yg semesti dihilangkan akan menjelekkan rupa dan memburukkan penampilan seseorang. Dia akan dianggap kotor dan tercela.
Apakah Fithrah Sebatas Lima Perkara Ini?
Perkara fithrah tdk sebatas lima perkara ini hal ini diketahui dgn lafadz: مِنْ dari kalimat خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ yg menunjukkan tab’idh arti sebagian .
Terlebih lagi telah disebutkan dlm hadits-hadits lain ada tambahan selain lima perkara tersebut seperti dlm hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yg diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullahu disebutkan ada 10 hal yg termasuk perkara fithrah yaitu istihdad mencabut bulu ketiak menggunting kuku memotong kumis memanjangkan jenggot siwak berkumur-kumur memasukkan air ke hidung mencuci ruas-ruas jari dan istinja . Dengan demikian penyebutan bilangan 5 atau 10 tdk berarti meniadakan tambahan demikian ucapan mayoritas ulama ushul.
Hukum Lima Perkara Fithrah Ini
Ulama berbeda pendapat tentang hukum kelima perkara fithrah yg disebutkan dlm hadits ini ada yg mengatakan sunnah adapula yg berpendapat wajib. Namun yg kuat dari pendapat yg ada wallahu a`lam lima perkara tersebut ada yg hukum wajib dan adapula yg sunnah. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata ketika menerangkan hadits Aisyah tentang 10 hal yg termasuk perkara fithrah: “Mayoritas perkara yg disebutkan dlm hadits tentang fithrah tidaklah wajib menurut ulama sebagian diperselisihkan kewajiban seperti khitan berkumur-kumur dan istinsyaq. Dan memang tdk ada penghalang atau tdk ada yg mencegah utk menggandengkan perkara wajib dgn selain yg wajib sebagaimana penggandengan ini tampak pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
“Makanlah buah-buahan hasil panen kalian apabila telah berbuah dan tunaikanlah hak pada hari dipetik hasilnya.”
Mengeluarkan zakat tanaman hukum wajib sementara memakan hasil tanaman itu tidaklah wajib wallahu a`lam.”
Kita akan sebutkan hukum masing-masing dari lima perkara tersebut dlm perincian pembahasan berikut ini:
1. KHITAN
Al-Imam Malik Abu Hanifah dan sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat khitan itu sunnah tdk wajib. Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i Ahmad dan sebagian Malikiyyah berpendapat hukum wajib. Pendapat yg kedua inilah yg rajih/kuat menurut penulis dgn dasar ketika ada seseorang yg baru masuk Islam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya:
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.”
Penulis ‘Aunul Ma’bud menyatakan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm hadits di atas menunjukkan wajib khitan bagi orang yg masuk Islam dan hal itu merupakan tanda keislamannya.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Yang rajih/kuat menurut kami hokum khitan adl wajib. Demikian madzhab jumhur ulama seperti Malik Asy-Syafi’i dan Ahmad. Pendapat ini yg dipilih oleh Ibnul Qayyim. Beliau membawakan 15 sisi pendalilan yg menunjukkan wajib khitan. Walaupun satu persatu dari alasan-alasan tersebut tdk dapat mengangkat perkara khitan kepada hukum wajib namun tdk diragukan bahwa pengumpulan alasan-alasan tersebut dapat mengangkatnya. Dikarenakan tdk cukup tempat utk membawakan semua alasan mk aku cukupkan dua alasan di antaranya:
Pertama: Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفاً
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu .”
Sementara khitan termasuk millah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yg kita diperintahkan utk mengikuti sebagaimana dlm hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yg disebutkan dlm kitab Ibnul Qayyim rahimahullahu tersebut . Alasan ini merupakan argumen yg paling bagus sebagaimana dikatakan Al-Baihaqi rahimahullahu yg dinukilkan oleh Al-Hafizh rahimahullahu .
Kedua: Khitan merupakan syiar Islam yg paling jelas dan paling nampak yg dengan dibedakan antara seorang muslim dgn seorang Nasrani sampai-sampai hampir tdk dijumpai ada di kalangan kaum muslimin yg tdk berkhitan.
Khitan bagi Wanita
Seperti hal lelaki wanita pun disyariatkan berkhitan sebagaimana ditunjukkan dlm hadits-hadits berikut ini:
1. Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa di Madinah ada seorang wanita yg biasa mengkhitan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadanya:
أَشِمِّي وَلاَ تَنْهَكِي، فَإِنَّ ذلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
“Potonglah tapi jangan dihabiskan krn yg demikian itu lbh terhormat bagi si wanita dan lbh disukai/dicintai oleh suaminya.”
2. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila bertemu dua khitan sungguh telah wajib mandi .”
3. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِِ، وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang laki2 duduk di antara empat cabang seorang wanita dan khitan yg satu menyentuh khitan yg lain mk sungguh telah wajib mandi.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata “Ketahuilah khitan wanita adl perkara yg dikenal di kalangan salaf berbeda hal dgn apa yg disangka oleh orang yg tdk berilmu. Beberapa atsar berikut ini menunjukkan hal tersebut”. Kemudian beliau rahimahullahu menyebutkan tiga atsar:
1. Al-Hasan berkata: ‘Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu diundang utk menghadiri jamuan makan. Lalu ditanyakan “Tahukah engkau undangan makan utk acara apakah ini? Ini acara khitan anak perempuan!” ‘Utsman berkata:
هَذَا شَيْءٌ مَا كُنَّا نَرَاهُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَ
“Ini perkara yg tdk pernah kami lihat di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ‘Utsman pun menolak utk menyantap hidangan .
2. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dlm Al-Adabul Mufrad no.1245 Ummul Muhajir berkata “Aku dan para wanita dari kalangan Romawi menjadi tawanan perang. mk ‘Utsman menawarkan agar kami mau masuk Islam namun tdk ada di antara kami yg berislam kecuali aku dan seorang wanita lainnya. ‘Utsman pun memerintahkan “Khitanilah kedua wanita ini dan sucikanlah keduanya”. Setelah itu jadilah aku berkhidmat kepada ‘Utsman.
3. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dlm Al-Adabul Mufrad no.1247 Ummu ‘Alqamah mengabarkan:
أَنَّ بَنَاتَ أَخِي عَائِشَةَ خُتِنَّ فَقِيْلَ لِعَائِشَةَ: أَلاَ نَدْعُو لَهُنَّ مَنْ يُلْهِيْهِنَّ؟ قَالَتْ: بَلَى. فَأَرْسَلْتُ إِلَى عُدَيِّ فَأَتَاهُنَّ فَمَرَّتْ عَائِشَةُ فِي الْبَيْتِ فَرَأَتْهُ يَتَغَنَّى وَيُحَرِّكُ رَأْسَهُ طَرَبًا – وَكَانَ ذَا شَعْرٍ كَثِيْرٍ – فَقَالَتْ: أُفٍّ، شَيْطَانٌ أَخْرِجُوْهُ، أَخْرِجُوْهُ
“Anak-anak perempuan dari saudara laki2 ‘Aisyah dikhitan mk ditanyakan kepada ‘Aisyah “Bolehkah kami memanggil seseorang yg dapat menghibur mereka?” ‘Aisyah mengatakan “Ya boleh.” mk aku mengutus seseorang utk memanggil ‘Uday lalu dia pun mendatangi anakanak perempuan itu. Kemudian lewatlah ‘Aisyah di rumah itu dan melihat sedang bernyanyi sambil menggerak-gerakkan kepala sementara dia mempunyai rambut yg lebat. ‘Aisyah pun berkata “Hei setan! Keluarkan dia keluarkan dia!”
Yang perlu jadi perhatian ada perbedaan hukum khitan lelaki dgn hokum khitan bagi wanita walaupun ada pendapat di kalangan ulama yg menyamakan . Tampak perbedaan hukum tersebut dlm hadits Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرَمَةٌ لِلنِّسَاءِ
“Khitan itu sunnah bagi lelaki dan pemuliaan bagi wanita.”
Namun kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu hadits ini tdk tsabit krn datang dari riwayat Hajjaj bin Arthah sementara ia tdk bisa dijadikan sebagai hujjah dikeluarkan hadits ini oleh Al-Imam Ahmad dan Al-Baihaqi . Namun ada syahid dari hadits yg diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dlm Musnad Asy-Syamiyyin dari jalan Sa’id bin Bisyr dari Qatadah dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma namun Sa’id ini diperselisihkan. Abusy Syaikh dan Al-Baihaqi mengeluarkan dari sisi lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Al-Baihaqi juga mengeluarkan dari hadits Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan telah terjadi perselisihan pendapat dlm hukum khitan dan pendapat yg paling dekat dgn kebenaran menyatakan bahwa khitan itu wajib bagi laki2 dan sunnah bagi wanita. Perbedaan hukum khitan antara laki2 dan perempuan itu dikarenakan khitan pada laki2 mengandung maslahat yg berkaitan dgn syarat shalat dan termasuk perkara thaharah . Apabila kulup tdk dihilangkan mk air kencing yg keluar tertahan dan terkumpul di kulup tersebut hingga berakibat peradangan pada bagian tersebut ataupun keluar tanpa sengaja bila zakar itu bergerak sehingga menajisi. Adapun pada wanita tujuan khitan adl meredakan syahwat bukan utk menghilangkan kotoran.
Dengan demikian khitan hanya wajib bagi laki2 tdk wajib bagi wanita. Pendapat ini juga yg dipilih oleh Al-Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
Hukum Orang yg Tidak Mau Dikhitan
Al-Haitami berkata: “Yang benar jika diwajibkan bagi kita khitan lalu ditinggalkan tanpa udzur mk pelaku fasik. Namun pahamilah bahwasa pembicaraan di sini hanya ditujukan pada anak laki2 tanpa menyertakan anak perempuan. laki2 difasikkan bila meninggalkan khitan tanpa udzur dan lazim dari sebutan fasik tersebut bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar.”
Bagian yg Dikhitan
Khitan pada anak laki2 dilakukan dgn cara memotong kulup atau kulit yg menutupi ujung zakar. Minimal menghilangkan apa yg menutupi ujung zakar dan disenangi utk mengambil seluruh kulit di ujung zakar tersebut. Sedangkan pada wanita dilakukan dgn memotong kulit di bagian paling atas kemaluan di atas vagina yg berbentuk seperti biji atau jengger ayam jantan . Yang harus dilakukan pada khitan wanita adl memotong ujung kulit dan bukan memotong habis bagian tersebut.
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ketika dita mengenai khitan wanita beliau memberikan jawaban bahwa wanita dikhitan dgn memotong kulit yg paling atas yg berbentuk seperti jengger ayam jantan .
Faidah
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan pelaksanaan khitan itu seharus dilakukan oleh seorang dokter yg ahli yg mengetahui bagaimana cara mengkhitan. Bila seseorang tdk mendapatkan mk ia bisa mengkhitan diri sendiri jika memang mampu melakukan dgn baik. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengkhitan diri sendiri. Orang yg mengkhitan boleh melihat aurat yg dikhitan walaupun usia yg dikhitan telah mencapai sepuluh tahun kebolehan ini dikarenakan ada kebutuhan.
Waktu Khitan
Ada perbedaan pendapat tentang kapan waktu disyariatkan khitan. Jumhur ulama berpendapat tdk ada waktu khusus utk melaksanakan khitan.
Al-Imam Al-Mawardi rahimahullahu menjelaskan utk melaksanakan khitan ada dua waktu waktu yg wajib dan waktu yg mustahab . Waktu yg wajib adl ketika seorang anak mencapai baligh sedangkan waktu yg sunnah adl sebelum baligh. Boleh pula melakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran. Juga disunnahkan utk tdk mengakhirkan pelaksanaan khitan dari waktu yg sunnah kecuali krn ada uzur.
Ibnul Mundzir rahimahullahu mengatakan “Tidak ada larangan yg ditetapkan oleh syariat yg berkenaan dgn waktu pelaksanaan khitan ini juga tdk ada batasan waktu yg menjadi rujukan dlm pelaksanaan khitan tersebut begitu pula sunnah yg harus diikuti. Seluruh waktu diperbolehkan. Tidak boleh melarang sesuatu kecuali dgn hujjah dan kami juga tdk mengetahui ada hujjah bagi orang yg melarang khitan anak kecil pada hari ketujuh.”
Namun Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyebutkan dua hadits yg menunjukkan ada pembatasan waktu khitan:
Pertama: Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ia menyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi cucu beliau Al-Hasan dan Al-Husain dan mengkhitan kedua pada hari ketujuh.
Kedua: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata “Ada tujuh perkara yg sunnah dilakukan pada hari ketujuh seorang bayi yaitu diberi nama dikhitan…”
Kemudian beliau menyatakan bahwa walaupun kedua hadits di atas memiliki kelemahan namun kedua hadits ini saling menguatkan krn makhraj kedua hadits ini berbeda dan tdk ada dlm sanad rawi yg tertuduh berdusta. Kalangan Syafi’iyyah mengambil hadits ini sehingga mereka menganggap sunnah dilakukan khitan pada hari ketujuh dari kelahiran seorang anak sebagaimana disebutkan dlm Al-Majmu’ dan selainnya. Batas tertinggi dilakukan khitan adl sebelum seorang anak baligh. Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Tidak boleh bagi si wali menunda dilakukan khitan anak sampai si anak melewati masa baligh.”
Lebih afdhal/utama bila khitan ini dilakukan ketika anak masih kecil krn lbh cepat sembuh dan agar si anak tumbuh di atas keadaan yg paling sempurna.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber: www.asysyariah.com

Pernikahan

Pernikahan atau adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.

Pernikahan dalam Islam merupakan fitrah manusia agar seorang muslim dapat memikul amanat tanggung jawabnya yang paling besar dalam dirinya terhadap orang yang paling berhak mendapat pendidikan dan pemeliharaan. Pernikahan memiliki manfaat yang paling besar terhadap kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu adalah memelihara kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan, menjaga keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta menjaga ketenteraman jiwa.
Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa: "Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Sesuai dengan rumusan itu, pernikahan tidak cukup dengan ikatan lahir atau batin saja tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbuatan itu menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan.
Dari segi agama Islam, syarat sah pernikahan penting sekali terutama untuk menentukan sejak kapan sepasang pria dan wanita itu dihalalkan melakukan hubungan seksual sehingga terbebas dari perzinaan. Zina merupakan perbuatan yang sangat kotor dan dapat merusak kehidupan manusia. Dalam agama Islam, zina adalah perbuatan dosa besar yang bukan saja menjadi urusan pribadi yang bersangkutan dengan Tuhan, tetapi termasuk pelanggaran hukum dan wajib memberi sanksi-sanksi terhadap yang melakukannya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka hukum Islam sangat memengaruhi sikap moral dan kesadaran hukum masyarakatnya.
Agama Islam menggunakan tradisi perkawinan yang sederhana, dengan tujuan agar seseorang tidak terjebak atau terjerumus ke dalam perzinaan. Tata cara yang sederhana itu nampaknya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya." Dari pasal tersebut sepertinya memberi peluang-peluang bagi anasir-anasir hukum adat untuk mengikuti dan bahkan berpadu dengan hukum Islam dalam perkawinan. Selain itu disebabkan oleh kesadaran masyarakatnya yang menghendaki demikian. Salah satu tata cara perkawinan adat yang masih kelihatan sampai saat ini adalah perkawinan yang tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang atau disebut nikah siri. Perkawinan ini hanya dilaksanakan di depan penghulu atau ahli agama dengan memenuhi syariat Islam sehingga perkawinan ini tidak sampai dicatatkan di kantor yang berwenang untuk itu.
Perkawinan sudah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan adalah sebagai berikut:
  • Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita.
  • Adanya akad (sighat) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau wakilnya (ijab) dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (kabul).
  • Adanya wali dari calon istri.
  • Adanya dua orang saksi.
Apabila salah satu syarat itu tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah, dan dianggap tidak pernah ada perkawinan. Oleh karena itu diharamkan baginya yang tidak memenuhi rukun tersebut untuk mengadakan hubungan seksual maupun segala larangan agama dalam pergaulan. Dengan demikian apabila keempat rukun itu sudah terpenuhi maka perkawinan yang dilakukan sudah dianggap sah.
Perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, apabila perkawinan tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 pasal 2 ayat 2 tahun 1974 tentang perkawinan itu berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Dipertegas dalam dalam undang-undang yang sama pada pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Jika masih belum cukup umur, pada pasal 7 ayat 2 menjelaskan bahwa perkawinan dapat disahkan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

sumber: Wikipedia